Selasa, 09 September 2008

Menemukan Matahari

“Sahabatku… Ajari aku mengepakkan sayap, seperti kamu mengepakkan sayapmu. Ah, namun mustahil, aku lemah terlampau lemah. Aku sakit terlampau sakit. Dan aku bodoh terlampau bodoh.” Saya tertegun saat seorang kawan mengirim pesan singkat itu.

Sayap yang menempel di punggung saya, sejatinya adalah sayap mungil yang baru tumbuh. Belum kokoh benar menantang angin. Bahkan, rute penjelajahan saya masih berkisar di tempat yang itu-itu saja. Ajaibnya, kawan yang mengirim SMS itu adalah sosok berbakat yang diam-diam saya kagumi lantaran mengandung potensi dan prestasi yang luar biasa. Hati saya kecut. Inferiority complex ternyata masih menjangkiti sahabat hebat ini.

“Aku tidak tahu tujuan hidupku. Bahkan aku dicekam kebimbangan dan ketakutan ketika orang-orang bertanya, ‘Apa tujuanmu? Untuk apa aku hidup?’ Aku takut dengan konsep diri yang tidak jelas ini.”

Tujuan adalah sarana kita untuk menjadi seseorang yang lebih baik daripada sekarang. Kita memerlukan tujuan, bukan untuk memperoleh apa yang kita inginkan, melainkan untuk membentuk diri kita.

Mempunyai tujuan memang menjadi salah satu sifat manusia. Tujuan membuat kita fokus pada apa yang kita pikirkan. Namun, ternyata kita sering takut salah menentukan arah tujuan. Sehingga seringkali tercetus, “Bagaimana kalau saya memiliki tujuan dan ternyata tujuan itu salah?”

Buckminster Fuller menulis tentang hukum presisi. Bahwa kita akan memperoleh banyak hal selain tujuan itu sendiri. Bukankah kita ‘menghabiskan’ waktu bertahun-tahun di bangku sekolah tak sekadar mengharap selembar ijazah? Ada banyak hal yang lahir dari proses mencapai tujuan, dan biasanya berwujud keuntungan!

Maka, pada sahabat, saya hanya dapat berkata, “Andaikan kita adalah sepenggal jasad yang berjalan ke barat, tak usah bertengkar dengan matahari tentang siapa yang menciptakan bayang-bayang. Karena kita hanya akan menuju ke barat, bukan hendak menyalahkan bayang-bayang. Kita hanya akan fokus menuju tujuan, tanpa banyak merisaukan hambatan dan gangguan yang menempel di setiap perjalanan.”

Maka, sahabat saya itu mulai berkontempelasi dan menuliskan daftar tujuan hidupnya. Ia menyusun tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang.

Tengah hari yang terik, ia bersorak, “Siang ini aku menemukan matahari.”

Dimuat di kolom 'Things Anggrahini KD' Suara Merdeka, minggu ke-2 Juli 2008

0 komentar:

Posting Komentar