Rabu, 11 Maret 2009

Obituari


Sejauh ini aku tahu, kehilangan bisa datang sewaktu-waktu sebagai konsekuensi hukum kehidupan yang mensyaratkan ketidakabadian. Ada yang datang, ada yang pergi. Ada yang lahir, ada yang meninggal. Ya, rasanya kita memang tidak bisa bersembunyi.
Sebagai manusia, kadang naluri berseberangan dengan teori. Aku tahu kehilangan akan datang. Tapi sering gagap menghadapinya. Apalagi, ketika yang pergi adalah orang-orang yang kita kasihi atau sesuatu yang kita rengkuh mati-matian.
Ya, manusia...

Lima tahun lalu, aku kehilangan Eyang Ti, sosok yang menjadi pelindung, pembela, dan penyemangat. Kanker serviks stadium lanjut. Aku tidak menangis. Pertama, aku tahu persis Eyang telah kepayahan bertahan. Kedua, aku tidak ingin membuat orang lain menangis melihat cucu kesayangan almarhum meraung-raung. Ketiga, aku tidak tahu harus berbuat apa, selain diam di sudut ruangan. Jujur, aku tidak tahu kalimat apa yang harus kuutarakan, kecuali innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Sehari-dua hari, keadaan terasa biasa-biasa saja. Kabar duka membuat keluarga besar berkumpul. Aku belum benar-benar kehilangan. Namun, seminggu kemudian, aku baru menangis. Ternyata sulit membuat hatiku menerima sebuah kehilangan.
Tahun-tahun terakhir sebelum almarhumah meninggal, akulah yang menemani tidurnya. Akulah yang memeluknya. Akulah yang bersandar nyaman di pahanya sambil bercerita panjang-lebar. Akulah yang kadang membersihkan darah yang merembes di tempat tidur saat beliau mengalami pendarahan. Dan, beliaulah yang menyayangiku sepanjang waktu, memasak makanan kesukaanku, membela saat orang-orang memarahiku, memujiku untuk hal-hal kecil (itu membuatku beruntung!), dan beliaulah yang tak lelah membuatku tersenyum.
Ah, kenangan akan kehilangan memang menyesakkan.
Kini, waktu memang membuatku berjarak dari kenangan-kenangan itu. Namun, yakin, hatiku masih mencintainya sepenuh hati...
Aku telah menemukan orang-orang yang menggantikan peran Eyang. Namun Eyang tetaplah sejarah yang sama sekali tak pernah ku hapus. Dan,aku tetap melangkah karena ada hidup yang harus kupertanggungjawabkan.
(Untuk Fandey yang baru saja kehilangan Emil. Kalian memberiku pelajaran. Fan, tabah ya..)

Baca Selengkapnya? ...

Minggu, 22 Februari 2009

Menyumpal Durhakaku




Setiap orang punya cara pandang. Tak perlu memperkosa pemikiran orang-orang agar semua jadi seragam. Aku tak sama dengannya, itu hal biasa. Tak perlu heran dan dipermasalahkan. Dia punya landasan, aku punya alasan. Lantas, apa lagi yang diributkan?

Suatu hari, dua puluh tahun lampau, aku dilahirkan. Tidak ada bekal apapun yang sempat kubawa sebelum keluar dari tempat pengeraman. Sementara, aku bukan siapa-siapa dan tak bernama. Aku tak punya apa-apa, selain tangis yang baru kupelajari seketika saat udara menyentak rongga paru-paru. Bagaimana rasanya, aku sudah lupa. Rupa-rupanya aku amnesia terhadap asal-mula. Tuhan pencipta segala lupa, aku harus menerima.
Aku jadi manusia yang belum bernama. Bagaimana rasanya, aku sudah lupa.
Apakah dulu aku senang dilahirkan ke dunia? Apa aku girang membayangkan dolanan alias games yang segera dapat kumainkan? Atau justru, aku merasa dilahirkan dari rahim yang salah? Barangkali seharusnya aku lahir dari seorang ratu, hingga walaupun tak bernama, aku tetaplah bayi yang punya tahta. Atau sebaliknya, mungkin aku calon anak gelandangan, yang tak punya apa-apa dari lahir hingga dewasa?
Dari manapun aku lahir, dapatkah aku tahu, bagaimana hidupku nanti? Misteri.
Aku sulit menemukan masa lalu tapi juga buta masa depan. Aku ingin mencuri sejarah penciptaan, agar tahu untuk apa aku dilahirkan. Setidaknya aku dapat menggunakannya untuk merancang masa depan. Sayang, ingatanku dibatasi kealpaan.
(Tuhan, tolong bocorkan sedikit rahasia langit!)
Dari mana aku harus memulai perjalanan ini? Apakah langkah awalku yang patah tempo lalu adalah refleksi kesalahanku mendiagnosis peta? Apakah langkahku kini yang nyaris patah lagi juga sebuah pertanda agar aku mencari pintu lain?
(Tuhan, tolong sediakan tinta ajaib untuk menuliskannya!)
Apakah aku memang harus menjadi orang yang berbeda untuk jadi paripurna? Jika orang lain mudah, kenapa aku susah? Jika orang lain lancar, kenapa aku nyasar? Aku yang buntung atau mereka yang kelewat beruntung?
Tanpa Kau beritahu, bolehkah ku simpulkan dua hal yang melandaku?
Pertama, Kau suka aku menderita.
Kedua, aku banyak dosa.
(Tuhan, tolong sediakan sapu tangan untuk menyumpal durhakaku!)
Yang aku tahu, gugatanku terhadap-Mu sudah kucabut sebelum sempat diutarakan. Sedikit ingatan tentang gugatanku terdahulu, aku kacau menyalahkan tinggi badan yang stagnan. Segala cara dicoba, dan Kau tak membalas usahaku dengan keberhasilan. Sampai di situ, aku marah pada-Mu.
Lalu, serentetan peluru berlompatan di segala penjuru. Hanya dalam waktu setengah menit, kekacauan terjadi. Aku merasakan desir hebat saat peluru menyibak helai rambut di atas kepala. Hawa panas bercampur tekanan udara melewati mautku. Dengan lutut gemetar aku bersyukur karena Kau tak membiarkanku bertambah tinggi. Segala upayaku yang Kau patahku bukan lagi menjadi kekesalan, melainkan penyelamatan.
Tuhan, kali ini aku kembali mengalami hal serupa. Segala upaya ku coba, tak ada hasilnya. Apakah suatu hari nanti Kau mengira akan ada peluru yang mengintai kepalaku jika aku bertambah tinggi? Tapi mengapa Kau biarkan orang-orang tumbuh semakin tinggi secara alami?
Sesuatu yang besar menutut pengorbanan yang besar. Aku berpikir, Tuhan menciptakan ganjalan agar aku memutar otak untuk memecahkan. Aku dilahirkan sebagai mahluk tak bernama yang tak punya apa-apa. Sementara kebanyakan orang mengalamatkan dirinya pada bungkus kemasan, biarlah aku tetap menggunakan diriku sendiri sebagai tameng setiap cobaan.
Selama aku percaya, Tuhan tidak akan lupa. Selama aku berusaha, pasti ada hasilnya. Niscaya…
Aku tidak ingin lagi mencuri sejarah penciptaan, hanya demi menyibak tabir masa depan. Biarlah hidup tetap jadi petualangan yang menguji kekuatan dan keberanian.
Besok aku akan tahu kemana kakiku melaju.


Baca Selengkapnya? ...