Selasa, 09 September 2008

Di Ketinggian

“Tolong beritahu matahari, bahwa aku tidak bisa menemukannya. Karena sebelum aku berjalan ke barat untuk menemukannya, jasadku sudah mati terbakar oleh cahayanya. Tolong, beritahu rembulan, bahwa aku tidak bisa memandangi cahayanya lagi. Karena sebelum netraku mampu melihat cahayanya, korneaku telah jadi buta oleh keindahannya. Katakan pada semuanya, bahwa aku tidak mampu lagi menjadi bagian dari semuanya, karena sebelum aku menemukan kalian, ruhku mungkin sudah tidak bernyawa. Tolong katakan pada pagi, bahwa aku tak mampu lagi merasakan kesejukannya dalam hatiku yang telah menjadi bara. Katakan, bahkan teriakkan!”

Penghabisan senja yang diiringi azan Isya menggenapi episode sendu yang dialami seorang sahabat. Di puncak menara Asmaul Husna MAJT, ia berteriak. Saya diam saja. Dia sedang membutuhkan telinga, bukan mulut saya. Karenanya, saya membiarkan ia terus mengeluh, mengumpat, dan memprotes alur hidup yang menurutnya terlalu membingungkan dan tidak memihak. Pepatah berkata, kita diberi dua telinga dan satu mulut supaya kita lebih banyak mendengar daripada bicara, bukan?

“Aku hanyalah seekor anak kambing, Sahabatku.” Lirih, perih, dan menyiratkan penat yang menggelembung. Saya membuang nafas dan mengalihkan pandangan. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah anak kambing yang malang.” Saya mendengarkan dengan seksama, tanpa mengalihkan pandangan dari matahari yang mulai bersembunyi di ufuk barat. “Aku tidak bisa mengaum. Aku hanya akan dimangsa singa.” Bibirnya bergetar. Sejujurnya saya ingin menatap matanya lekat-lekat, seraya berteriak, “Kau adalah mahluk hebat!” Tapi urung. Saya membiarkan senja menyusupkan ketenangan. Saya membiarkan ucapan-ucapannya mengalir, menderas, menggejolak, kemudian melirih di akhir kalimat.

Ia diam selama beberapa menit. Jeda itu saya nikmati dengan merasai sensasi senja di ketinggian. Kaki berpijak di puncak menara setinggi puluhan meter. Di utara, lautan memantulkan spektrum oranye. Di barat, ada matahari yang berkelindap, menyusup ke peraduannya. Di selatan, barisan pebukitan memamerkan topografi istimewa.

“Ketika berada di ketinggian, hal-hal yang semula kita anggap besar, ternyata nampak kecil, ya?” Saya membuka mulut. Ya, memang hanya ilusi optik. Sekadar mengubah perspektif. Namun, bukankah ketika kita mengubah sudut pandang, objek yang dilihat akan berubah?

Saya meliriknya. Ia menyaput keringat yang menimbulkan titik-titik di dahinya. “Kau menyindirku?” ia mengangkat sebelah alis. Tatapan matanya sinis, dengan senyumnya yang asimetris.

Ia terdiam cukup lama. Matanya memandang kerlap-kerlip ribuan lampu di bawah sana. “Apakah jika aku mampu menaiki tangga-tangga kebijaksanaan, kesulitan-kesulitan besar itu akan tampak lebih kecil?”

Saya tersenyum simpul karena sahabat saya telah menemukan matahari di puncak kesadarannya.

Dimuat di kolom 'things Anggrahini KD' Suara Merdeka, 27 Juli 2008

2 komentar:

  1. wawww penulis aktif rupanya ..
    teruskan perjuanganmu nak, tulisanmu bagus :) hehehehe

    aku cuma bisa baca ga bisa nulis,tulisanku jelek ga bisa dibaca orang lain hahahaha

    BalasHapus
  2. entah kenapa, selain pernah membaca tulisanmu ini di SM....
    aku juga seperti merasakan sebuah de javu...
    jangan-jangan, akulah objek yang kamu tulis????
    :-) GR!
    entahlah, mbak KD...

    BalasHapus