Kamis, 18 September 2008

DIALOG CINTA

(Bolehkah Aku Tidak Mencintaimu Sedetik Saja?)

Wahyu menatapku dengan tatapan lembut. Tangannya menggenggam tanganku. Musik mengalun, lilin temaram jadi penerang. Suasana remang menerbitkan sebuah pertanyaan yang terus mengambang.

Bolehkan aku tidak mencintaimu sedetik saja?” Wahyu menatapku terkejut. Kerut di dahinya kentara sebagai perlambang ketidaknyamanan. ”Boleh tidak?” Aku pura-pura tercenung agar terkesan sungguh-sungguh. Wahyu menatapku lama, tanpa kata-kata. Aku memilin ujung rambut.

”Apakah harus dijawab?” Wahyu menerawang. Aku mengangguk. Cukup lama kami terdiam, sampai ia mau membuka mulut.

”Tidak boleh!”

Aku tertawa. ”Sudah ku duga.” Aku memejamkan mata. “Kenapa?” lanjutku.

”Aku mencintaimu. Kau juga harus begitu.”

Kalau begitu, bolehkah aku mencintaimu sedetik saja.”

Wahyu terperangah, ”Tidak boleh!”

Aku kembali tertawa, ”Aku minta ijin tidak mencintai, tidak boleh. Sebaliknya, aku minta ijin mencintai, kamu juga tak mau.”

”Bukan soal mencintai atau tidak mencintai, tapi soal sedetik itu.”

”Bukan soal sedetik itu. Kamu hanya ingin aku menuruti maumu. Kamu mencintai karena ingin membentukku sesukamu.”

Bukan itu.” elak Wahyu gusar. Ia menatapku dengan mata memendam marah.

Itu artinya kamu egois. Kamu tidak membiarkanku memilih. Kamu hanya mau didengar, dituruti, dan dicintai. Tapi, kamu tidak mau mendengar, menuruti, dan abai mencintai.”

Lalu, kamu pikir untuk apa aku mengajakmu ke sini? Suasana romantis, restoran mahal...”

”Untuk kesenanganmu. Untuk memenuhi keinginanmu. Bukankah kamu yang meminta?”

”Salah. Untukmu. Wujud cintaku.”

”Wujud cinta? Apakah cinta harus diwujudkan dengan restoran mahal?”

”Aku tidak memintamu membayarnya. Sudahlah, jangan merusak suasana.”

Kamu memintaku membayarnya dengan perasaan tak enak. Lalu, aku melunasinya dengan mematuhi keinginanmu, membiarkan tanganmu menggenggam tanganku, bibirmu mencium pipiku..”

Cukup, jangan merusak suasana. Aku tidak membawamu kemari untuk berdebat. Aku tidak meminta macam-macam darimu. Semuanya hanya wujud cinta.”

“Wujud cinta? Bolehkah aku tidak percaya?”

“Tidak boleh. Kamu harus percaya.”

“Pemaksa. Egios.”

“Cerewet!”

***

Salman menatapku lama. Matanya bercahaya. Aku menyukai caranya memijarkan mata antusiasme kala mendengar cerita-ceritaku.

”Apa kamu percaya cinta?” tanyaku dengan mulut yang masih mengunyah bakso sapi.

”Tentu, Cantik.”

”Kamu mencintaiku?”

”Tidak diragukan lagi.”

”Kalau begitu, bolehkah aku tidak mencintaimu sedetik saja?”

Salman tertegun. Mulutnya juga masih mengunyah.

”Hanya sedetik?”

Aku mengangguk. Ku lihat ekspresi wajah Salman berubah. Alis kirinya naik lebih tinggi.

”Boleh. Tapi hanya sedetik. Setelah itu, kamu harus kembali mencintaiku.”

”Serius? Kamu mau aku memenggal cintaku?”

”Hanya sedetik, bukan? Apalah artinya satu detik?”

Aku menghela, ”Tapi sedetik dapat merubah segalanya. Siapa tahu, dalam satu detik itu aku terpikat cinta lain yang mengurungku dalam kenangan abadi.”

”Tapi kamu hanya meminta satu detik untuk tidak mencintaiku. Itu artinya, detik-detik yang lain menjadi miliku.”

”Itu teorimu.” Aku melirik Salman yang kebingungan. ”Kalau aku mencintaimu sedetik saja, boleh tidak?”

”Tidak boleh!” potong Salman tiba-tiba.

Aku terkekeh. “Kamu ingin mendapatkan lebih banyak dari yang diperoleh orang lain?”

”Tentu! Aku membiarkan satu detikmu bukan untukku, tapi detik-detik yang lain harus punyaku.”

Baksoku tandas. Aku memandang Salman dengan tatapan purnama, ”Sayang sekali, Salman, kamu rakus dan serakah. Kamu pikir hanya kamu yang layak dicintai?”

***

Aku berkenalan dengan Galih, saat kami dipertemukan dalam sebuah acara kepenulisan. Ia cerdas, berbakat, tapi gagap dalam hubungan cinta. Tapi aku berhasil menjadi bagian hidupnya.

Kami sedang mendiskusikan sebuah novel, ketika pertanyaan itu, untuk kesekian kalinya mengusikku.

”Apa kamu benar-benar mencintaiku?”

Galih tersipu, ”Iya.”

Aku melihat matanya yang tersaput malu di balik sebingkai kaca mata.

”Mmm, apakah aku boleh tidak mencintaimu sedetik saja.”

Galih terdiam. Pandangannya mulai menggelisah.

Aku membutuhkan cintamu. Aku membutuhkanmu. Berat untuk tidak dicintai sedetik saja.”

“Setidaknya kamu jujur mengakui, kamu membutuhkanku.” Aku menghempaskan diri di kursi. ”Lalu, bagaimana kalau aku hanya mencintaimu sedetik saja?”

Ekpresi Galih layu. Wajahnya mengkerut.

”Apa boleh buat? Setidaknya aku pernah kamu cintai walau hanya sedetik.”

Galih, kamu memang butuh dicintai. tapi bukan berarti harus berlagak seperti pengemis yang kalah.” aku menghela nafas berat. ”Galih, kamu berharga. Bukan saatnya terus meminta-minta dicintai, dan pasrah jika tidak dicintai.”

Sampai hari itu aku terus digoyahkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang sama. Sesuatu yang tak ku inginkan.

***

Desta, sahabatku, tersenyum saat aku memakai gaun pemberiannya.

”Cantik.”

Aku tersipu. ”Pasti karena gaun ini.”

Desta menggeleng, ”Tidak. Sejak dulu kamu cantik.”

Aku mengerling manja, ”Karena itu kah predikat sahabat berganti jadi kekasih?”

”Tidak juga. Aku masih sahabatmu, tapi aku juga kekasihmu. Dan, bukan karena cantikmu.”

”Lalu?”

”Karena aku menyayangimu, ingin melindungimu, dan mencintaimu.”

Aku tertegun. Benarkah setulus itu?

”Des, bolehkah aku tidak mencintaimu sedetik saja?”

Desta tertawa, ”Tentu saja. Aku tidak berhak memenjarakan perasaanmu. Kamu bebas mencintai siapa saja.”

”Kamu tidak cemburu?”

Cantik, apakah dalam hidupmu hanya ada aku? Begitu banyak orang-orang yang juga butuh dicintai..”

Aku tersenyum, entah senang, entah bingung.

“Lalu, bolehkah aku mencintaimu sedetik saja?”

Lagi-lagi Desta tertawa, ”Tentu saja. Aku tidak dapat memaksamu mencintaiku. Ketika satu detik itu kamu mencintaiku, tentu saja akan menjadi anugerah bagiku.”

Tapi...” aku melirik Desta yang begitu nyaman bersandar di sofa ruang tamu. ”Kenapa? Kenapa kamu mau dicintai sedetik saja?”

Kali ini Desta menatapku dengan serius, ”Karena detik-detik selanjutnya, akulah yang membuatmu merasa dicintai.”

Aku terpana. Entah senang, entah bingung.

***

Anggra, 17.09.08

Baca Selengkapnya? ...

Pecundang Paling Gagah

Jika hari ini aku ditakdirkan sebagai pecundang, aku akan menjadi pecundang yang lebih gagah daripada pemenang. Namun jika aku diberi kesempatan untuk menang, aku tidak akan meniru para pecundang yang lekas puas dengan kemenangan. Aku sadar, menang-kalah hanya soal sudut pandang. Tak masalah, apakah aku akan menang atau kalah, aku hanya akan mengeluarkan kemampuan terbaik. Dengan demikian, aku tidak akan menyesal.

Tidak ada sesal karena aku telah memberikan yang terbaik, meski kadang hasil tak membawaku pada kemenangan. Usaha-usaha itu adalah investasi yang akan ku panen esok hari. Jadi, yang hari ini nampak sebagai kekalahan, belum tentu esok hari menampilkan wajah serupa. Itu hanya soal sudut pandang. Kekalahan hari ini adalah ilmu yang berhasil ku curi dari masa depan. Ia mengajariku strategi yang lebih baik untuk langkah-langkah selanjutnya. Bukankah pengalaman adalah guru berharga? Maka, jika hari ini kau meratap, mengeluh, dan mengumpat karena kekalahan, berpikirlah ulang. Bisa jadi kejengkelanmu berbalik menjadi motivasi berlipat yang mampu memperbaiki keadaan.

Mengapa kau merasa kalah padahal kau hebat? Apakah hanya karena ketidakmampuanmu menyaingi perolehan seseorang, lantas kau merasa kalah? Apakah karena kau kurang dalam satu hal, maka kau menyematkan label pecundang?

Kekurangan dan kekalahan tidak akan menghambat kakimu, selagi kau menemukan sepatu yang nyaman untuk berlari. Dan, jika akhirnya kau memutuskan untuk mendaki ketinggian, ciptakanlah tanggamu sendiri. Menaiki tangga milik orang lain belum tentu cocok bagi jangkauan kaki. Sayang, kita acap abai dengan kelebihan karena silau dengan standar yang dibebankan ‘kurikulum’ kehidupan.

Aku tidak sedang ingin menggurui. Namun, pepatah usang itu memang benar. Di balik kekurangan, selalu terselip kelebihan. Tuhan melahirkan kekurangan dan kelebihan dalam satu paket penciptaan. Masalahnya, kekurangan dan kelebihan memiliki banyak anekaragam. Manusia tak ada yang sama, bukan? Jika kau ingin berlari, pakailah sepatumu sendiri. Jangan memaksa diri memakai sepatu orang lain, yang ukurannya belum tentu pas di telapak kaki. Setiap orang memang berbeda, jadi jangan melulu ingin memenangi sesuatu hanya karena tak ingin kalah. Kau punya kekuatan sendiri, dan kau dapat mengukur dengan perkiraan yang paling tepat.

Jika kau merasa kalah, itu artinya kau mulai mengenali titik lemah. Bukankah itu adalah kata kunci yang akan membawamu memperbaiki diri? Jika hari ini kau merasa kalah, sebaiknya kau menjadi pecundang paling gagah yang secepat kilat berdiri tegak menantang gempuran. Keteguhan itu akan membantumu mengumpulkan kekuatan untuk mencuri kemenangan.

Dan, sesungguhnya kemenangan masih jauh dari jangkauan. Setiap hari adalah pertempuran yang mempertemukan kita pada kekalahan. Namun, kekalahan tak hadir sekadar menjadi momok yang menakutkan, ia justru lahir untuk menyelamatkan kita dari kebodohan dan kesombongan.

Anggra, 23.08.08

Baca Selengkapnya? ...

Selasa, 09 September 2008

Menumbuhkan Sayap

Thomas Alfa Edison pernah mengalami musibah dramatis. Pada tahun 1914, laboratorium tempat Edison menghasilkan banyak temuan-temuan penting, terbakar hebat. Kerugiannya mencapai dua juta dolar. Padahal, di dalamnya terdapat proyek-proyek penting.

Edison menyaksikan tragedi itu dengan ketenangan luar biasa. Bahkan, ia menganggap peristiwa itu adalah momen unik yang hanya dapat disaksikannya sekali seumur hidup. Karena itulah, matanya tak melewatkan hancurnya laboratorium itu sedetik pun.

Usia Edison kala itu 67 tahun. Hebatnya, usia senja tak membuatnya ciut untuk memulai kembali proyek-proyeknya yang hilang terbakar. Semangat membara dan tekad kuat mengantarkan Edison untuk kembali menuangkan ide dan membangun laboratorium baru. “Terima kasih, Tuhan, semua kesalahan kami telah dihancurkan. Dan di pabrik baru ini, aku akan memulai percobaan baru dengan lembaran baru yang bersih.” Dengan bijak, ia menyikapi musibah yang menghinggapi kehidupan.

“Ketika menghadapi kesulitan, beberapa orang tumbuh sayap, sedang yang lain mencari tongkat penyangga.” (Harold W. Ruoff)

Edison memilih untuk menumbuhkan sayap. Merajut harapan, tekad, dan semangat meski badai cobaan telah melantakkan bagian penting hidupnya. Tidak mudah, memang. Namun, sayap yang lahir dari sandungan-sandungan kesulitan itulah yang mampu membuatnya terbang, bahkan lebih tinggi daripada sebelumnya.

Orang yang mengalami kesulitan dan cobaan memang memiliki dua peluang. Akankah menumbuhkan sayap dan meneruskan hidup, atau mencari sandaran dan terus mengeluh.

Jika kita memilih untuk menumbuhkan sayap, itu artinya kita memutuskan untuk memecahkan persoalan dan mengangkat diri ke posisi yang lebih tinggi. Sebaliknya, bersandar pada tongkat tidak akan menyelesaikan persoalan, bahkan menenggelamkan diri pada ratapan dan penyesalan belaka.

Namun, toh, beberapa orang memutuskan untuk mencari tongkat penyangga. Berharap agar beban kehidupan tak memberat seiring rotasi bumi yang selalu membawa perubahan. Walau sebenarnya, tumbuh sayap adalah pilihan yang jauh lebih baik.

Dimuat di kolom 'Thing Anggrahini KD' Suara Merdeka, minggu pertama Juli 2008

Baca Selengkapnya? ...

Menemukan Matahari

“Sahabatku… Ajari aku mengepakkan sayap, seperti kamu mengepakkan sayapmu. Ah, namun mustahil, aku lemah terlampau lemah. Aku sakit terlampau sakit. Dan aku bodoh terlampau bodoh.” Saya tertegun saat seorang kawan mengirim pesan singkat itu.

Sayap yang menempel di punggung saya, sejatinya adalah sayap mungil yang baru tumbuh. Belum kokoh benar menantang angin. Bahkan, rute penjelajahan saya masih berkisar di tempat yang itu-itu saja. Ajaibnya, kawan yang mengirim SMS itu adalah sosok berbakat yang diam-diam saya kagumi lantaran mengandung potensi dan prestasi yang luar biasa. Hati saya kecut. Inferiority complex ternyata masih menjangkiti sahabat hebat ini.

“Aku tidak tahu tujuan hidupku. Bahkan aku dicekam kebimbangan dan ketakutan ketika orang-orang bertanya, ‘Apa tujuanmu? Untuk apa aku hidup?’ Aku takut dengan konsep diri yang tidak jelas ini.”

Tujuan adalah sarana kita untuk menjadi seseorang yang lebih baik daripada sekarang. Kita memerlukan tujuan, bukan untuk memperoleh apa yang kita inginkan, melainkan untuk membentuk diri kita.

Mempunyai tujuan memang menjadi salah satu sifat manusia. Tujuan membuat kita fokus pada apa yang kita pikirkan. Namun, ternyata kita sering takut salah menentukan arah tujuan. Sehingga seringkali tercetus, “Bagaimana kalau saya memiliki tujuan dan ternyata tujuan itu salah?”

Buckminster Fuller menulis tentang hukum presisi. Bahwa kita akan memperoleh banyak hal selain tujuan itu sendiri. Bukankah kita ‘menghabiskan’ waktu bertahun-tahun di bangku sekolah tak sekadar mengharap selembar ijazah? Ada banyak hal yang lahir dari proses mencapai tujuan, dan biasanya berwujud keuntungan!

Maka, pada sahabat, saya hanya dapat berkata, “Andaikan kita adalah sepenggal jasad yang berjalan ke barat, tak usah bertengkar dengan matahari tentang siapa yang menciptakan bayang-bayang. Karena kita hanya akan menuju ke barat, bukan hendak menyalahkan bayang-bayang. Kita hanya akan fokus menuju tujuan, tanpa banyak merisaukan hambatan dan gangguan yang menempel di setiap perjalanan.”

Maka, sahabat saya itu mulai berkontempelasi dan menuliskan daftar tujuan hidupnya. Ia menyusun tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang.

Tengah hari yang terik, ia bersorak, “Siang ini aku menemukan matahari.”

Dimuat di kolom 'Things Anggrahini KD' Suara Merdeka, minggu ke-2 Juli 2008

Baca Selengkapnya? ...

Di Ketinggian

“Tolong beritahu matahari, bahwa aku tidak bisa menemukannya. Karena sebelum aku berjalan ke barat untuk menemukannya, jasadku sudah mati terbakar oleh cahayanya. Tolong, beritahu rembulan, bahwa aku tidak bisa memandangi cahayanya lagi. Karena sebelum netraku mampu melihat cahayanya, korneaku telah jadi buta oleh keindahannya. Katakan pada semuanya, bahwa aku tidak mampu lagi menjadi bagian dari semuanya, karena sebelum aku menemukan kalian, ruhku mungkin sudah tidak bernyawa. Tolong katakan pada pagi, bahwa aku tak mampu lagi merasakan kesejukannya dalam hatiku yang telah menjadi bara. Katakan, bahkan teriakkan!”

Penghabisan senja yang diiringi azan Isya menggenapi episode sendu yang dialami seorang sahabat. Di puncak menara Asmaul Husna MAJT, ia berteriak. Saya diam saja. Dia sedang membutuhkan telinga, bukan mulut saya. Karenanya, saya membiarkan ia terus mengeluh, mengumpat, dan memprotes alur hidup yang menurutnya terlalu membingungkan dan tidak memihak. Pepatah berkata, kita diberi dua telinga dan satu mulut supaya kita lebih banyak mendengar daripada bicara, bukan?

“Aku hanyalah seekor anak kambing, Sahabatku.” Lirih, perih, dan menyiratkan penat yang menggelembung. Saya membuang nafas dan mengalihkan pandangan. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah anak kambing yang malang.” Saya mendengarkan dengan seksama, tanpa mengalihkan pandangan dari matahari yang mulai bersembunyi di ufuk barat. “Aku tidak bisa mengaum. Aku hanya akan dimangsa singa.” Bibirnya bergetar. Sejujurnya saya ingin menatap matanya lekat-lekat, seraya berteriak, “Kau adalah mahluk hebat!” Tapi urung. Saya membiarkan senja menyusupkan ketenangan. Saya membiarkan ucapan-ucapannya mengalir, menderas, menggejolak, kemudian melirih di akhir kalimat.

Ia diam selama beberapa menit. Jeda itu saya nikmati dengan merasai sensasi senja di ketinggian. Kaki berpijak di puncak menara setinggi puluhan meter. Di utara, lautan memantulkan spektrum oranye. Di barat, ada matahari yang berkelindap, menyusup ke peraduannya. Di selatan, barisan pebukitan memamerkan topografi istimewa.

“Ketika berada di ketinggian, hal-hal yang semula kita anggap besar, ternyata nampak kecil, ya?” Saya membuka mulut. Ya, memang hanya ilusi optik. Sekadar mengubah perspektif. Namun, bukankah ketika kita mengubah sudut pandang, objek yang dilihat akan berubah?

Saya meliriknya. Ia menyaput keringat yang menimbulkan titik-titik di dahinya. “Kau menyindirku?” ia mengangkat sebelah alis. Tatapan matanya sinis, dengan senyumnya yang asimetris.

Ia terdiam cukup lama. Matanya memandang kerlap-kerlip ribuan lampu di bawah sana. “Apakah jika aku mampu menaiki tangga-tangga kebijaksanaan, kesulitan-kesulitan besar itu akan tampak lebih kecil?”

Saya tersenyum simpul karena sahabat saya telah menemukan matahari di puncak kesadarannya.

Dimuat di kolom 'things Anggrahini KD' Suara Merdeka, 27 Juli 2008

Baca Selengkapnya? ...