Kamis, 18 September 2008

DIALOG CINTA

(Bolehkah Aku Tidak Mencintaimu Sedetik Saja?)

Wahyu menatapku dengan tatapan lembut. Tangannya menggenggam tanganku. Musik mengalun, lilin temaram jadi penerang. Suasana remang menerbitkan sebuah pertanyaan yang terus mengambang.

Bolehkan aku tidak mencintaimu sedetik saja?” Wahyu menatapku terkejut. Kerut di dahinya kentara sebagai perlambang ketidaknyamanan. ”Boleh tidak?” Aku pura-pura tercenung agar terkesan sungguh-sungguh. Wahyu menatapku lama, tanpa kata-kata. Aku memilin ujung rambut.

”Apakah harus dijawab?” Wahyu menerawang. Aku mengangguk. Cukup lama kami terdiam, sampai ia mau membuka mulut.

”Tidak boleh!”

Aku tertawa. ”Sudah ku duga.” Aku memejamkan mata. “Kenapa?” lanjutku.

Anggra, 17.09.08

Baca Selengkapnya? ...

Pecundang Paling Gagah

Jika hari ini aku ditakdirkan sebagai pecundang, aku akan menjadi pecundang yang lebih gagah daripada pemenang. Namun jika aku diberi kesempatan untuk menang, aku tidak akan meniru para pecundang yang lekas puas dengan kemenangan. Aku sadar, menang-kalah hanya soal sudut pandang. Tak masalah, apakah aku akan menang atau kalah, aku hanya akan mengeluarkan kemampuan terbaik. Dengan demikian, aku tidak akan menyesal.

Tidak ada sesal karena aku telah memberikan yang terbaik, meski kadang hasil tak membawaku pada kemenangan. Usaha-usaha itu adalah investasi yang akan ku panen esok hari. Jadi, yang hari ini nampak sebagai kekalahan, belum tentu esok hari menampilkan wajah serupa. Itu hanya soal sudut pandang. Kekalahan hari ini adalah ilmu yang berhasil ku curi dari masa depan. Ia mengajariku strategi yang lebih baik untuk langkah-langkah selanjutnya. Bukankah pengalaman adalah guru berharga? Maka, jika hari ini kau meratap, mengeluh, dan mengumpat karena kekalahan, berpikirlah ulang. Bisa jadi kejengkelanmu berbalik menjadi motivasi berlipat yang mampu memperbaiki keadaan.

Mengapa kau merasa kalah padahal kau hebat? Apakah hanya karena ketidakmampuanmu menyaingi perolehan seseorang, lantas kau merasa kalah? Apakah karena kau kurang dalam satu hal, maka kau menyematkan label pecundang?

Anggra, 23.08.08

Baca Selengkapnya? ...

Selasa, 09 September 2008

Menumbuhkan Sayap

Thomas Alfa Edison pernah mengalami musibah dramatis. Pada tahun 1914, laboratorium tempat Edison menghasilkan banyak temuan-temuan penting, terbakar hebat. Kerugiannya mencapai dua juta dolar. Padahal, di dalamnya terdapat proyek-proyek penting.

Edison menyaksikan tragedi itu dengan ketenangan luar biasa. Bahkan, ia menganggap peristiwa itu adalah momen unik yang hanya dapat disaksikannya sekali seumur hidup. Karena itulah, matanya tak melewatkan hancurnya laboratorium itu sedetik pun.

Dimuat di kolom 'Thing Anggrahini KD' Suara Merdeka, minggu pertama Juli 2008

Baca Selengkapnya? ...

Menemukan Matahari

“Sahabatku… Ajari aku mengepakkan sayap, seperti kamu mengepakkan sayapmu. Ah, namun mustahil, aku lemah terlampau lemah. Aku sakit terlampau sakit. Dan aku bodoh terlampau bodoh.” Saya tertegun saat seorang kawan mengirim pesan singkat itu.

Sayap yang menempel di punggung saya, sejatinya adalah sayap mungil yang baru tumbuh. Belum kokoh benar menantang angin. Bahkan, rute penjelajahan saya masih berkisar di tempat yang itu-itu saja. Ajaibnya, kawan yang mengirim SMS itu adalah sosok berbakat yang diam-diam saya kagumi lantaran mengandung potensi dan prestasi yang luar biasa. Hati saya kecut. Inferiority complex ternyata masih menjangkiti sahabat hebat ini.

Dimuat di kolom 'Things Anggrahini KD' Suara Merdeka, minggu ke-2 Juli 2008

Baca Selengkapnya? ...

Di Ketinggian

“Tolong beritahu matahari, bahwa aku tidak bisa menemukannya. Karena sebelum aku berjalan ke barat untuk menemukannya, jasadku sudah mati terbakar oleh cahayanya. Tolong, beritahu rembulan, bahwa aku tidak bisa memandangi cahayanya lagi. Karena sebelum netraku mampu melihat cahayanya, korneaku telah jadi buta oleh keindahannya. Katakan pada semuanya, bahwa aku tidak mampu lagi menjadi bagian dari semuanya, karena sebelum aku menemukan kalian, ruhku mungkin sudah tidak bernyawa. Tolong katakan pada pagi, bahwa aku tak mampu lagi merasakan kesejukannya dalam hatiku yang telah menjadi bara. Katakan, bahkan teriakkan!”

Dimuat di kolom 'things Anggrahini KD' Suara Merdeka, 27 Juli 2008

Baca Selengkapnya? ...