Minggu, 22 Februari 2009

Menyumpal Durhakaku




Setiap orang punya cara pandang. Tak perlu memperkosa pemikiran orang-orang agar semua jadi seragam. Aku tak sama dengannya, itu hal biasa. Tak perlu heran dan dipermasalahkan. Dia punya landasan, aku punya alasan. Lantas, apa lagi yang diributkan?

Suatu hari, dua puluh tahun lampau, aku dilahirkan. Tidak ada bekal apapun yang sempat kubawa sebelum keluar dari tempat pengeraman. Sementara, aku bukan siapa-siapa dan tak bernama. Aku tak punya apa-apa, selain tangis yang baru kupelajari seketika saat udara menyentak rongga paru-paru. Bagaimana rasanya, aku sudah lupa. Rupa-rupanya aku amnesia terhadap asal-mula. Tuhan pencipta segala lupa, aku harus menerima.
Aku jadi manusia yang belum bernama. Bagaimana rasanya, aku sudah lupa.
Apakah dulu aku senang dilahirkan ke dunia? Apa aku girang membayangkan dolanan alias games yang segera dapat kumainkan? Atau justru, aku merasa dilahirkan dari rahim yang salah? Barangkali seharusnya aku lahir dari seorang ratu, hingga walaupun tak bernama, aku tetaplah bayi yang punya tahta. Atau sebaliknya, mungkin aku calon anak gelandangan, yang tak punya apa-apa dari lahir hingga dewasa?
Dari manapun aku lahir, dapatkah aku tahu, bagaimana hidupku nanti? Misteri.
Aku sulit menemukan masa lalu tapi juga buta masa depan. Aku ingin mencuri sejarah penciptaan, agar tahu untuk apa aku dilahirkan. Setidaknya aku dapat menggunakannya untuk merancang masa depan. Sayang, ingatanku dibatasi kealpaan.
(Tuhan, tolong bocorkan sedikit rahasia langit!)
Dari mana aku harus memulai perjalanan ini? Apakah langkah awalku yang patah tempo lalu adalah refleksi kesalahanku mendiagnosis peta? Apakah langkahku kini yang nyaris patah lagi juga sebuah pertanda agar aku mencari pintu lain?
(Tuhan, tolong sediakan tinta ajaib untuk menuliskannya!)
Apakah aku memang harus menjadi orang yang berbeda untuk jadi paripurna? Jika orang lain mudah, kenapa aku susah? Jika orang lain lancar, kenapa aku nyasar? Aku yang buntung atau mereka yang kelewat beruntung?
Tanpa Kau beritahu, bolehkah ku simpulkan dua hal yang melandaku?
Pertama, Kau suka aku menderita.
Kedua, aku banyak dosa.
(Tuhan, tolong sediakan sapu tangan untuk menyumpal durhakaku!)
Yang aku tahu, gugatanku terhadap-Mu sudah kucabut sebelum sempat diutarakan. Sedikit ingatan tentang gugatanku terdahulu, aku kacau menyalahkan tinggi badan yang stagnan. Segala cara dicoba, dan Kau tak membalas usahaku dengan keberhasilan. Sampai di situ, aku marah pada-Mu.
Lalu, serentetan peluru berlompatan di segala penjuru. Hanya dalam waktu setengah menit, kekacauan terjadi. Aku merasakan desir hebat saat peluru menyibak helai rambut di atas kepala. Hawa panas bercampur tekanan udara melewati mautku. Dengan lutut gemetar aku bersyukur karena Kau tak membiarkanku bertambah tinggi. Segala upayaku yang Kau patahku bukan lagi menjadi kekesalan, melainkan penyelamatan.
Tuhan, kali ini aku kembali mengalami hal serupa. Segala upaya ku coba, tak ada hasilnya. Apakah suatu hari nanti Kau mengira akan ada peluru yang mengintai kepalaku jika aku bertambah tinggi? Tapi mengapa Kau biarkan orang-orang tumbuh semakin tinggi secara alami?
Sesuatu yang besar menutut pengorbanan yang besar. Aku berpikir, Tuhan menciptakan ganjalan agar aku memutar otak untuk memecahkan. Aku dilahirkan sebagai mahluk tak bernama yang tak punya apa-apa. Sementara kebanyakan orang mengalamatkan dirinya pada bungkus kemasan, biarlah aku tetap menggunakan diriku sendiri sebagai tameng setiap cobaan.
Selama aku percaya, Tuhan tidak akan lupa. Selama aku berusaha, pasti ada hasilnya. Niscaya…
Aku tidak ingin lagi mencuri sejarah penciptaan, hanya demi menyibak tabir masa depan. Biarlah hidup tetap jadi petualangan yang menguji kekuatan dan keberanian.
Besok aku akan tahu kemana kakiku melaju.


Baca Selengkapnya? ...